♠ Posted by Unknown in Kesesatan Syi'ah,Tanya-Jawab at 20.16
Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Syubhat: Kami orang-orang Syi’ah tidak ada masalah dengan ahlussunnah, akan tetapi permasalahan kami hanyalah karena kalian selalu mendo’akan keridhaan bagi Mu’awiyah (mengucapkan Radhiyallahu ‘anhu untuk Mu’awiyah). Sementara imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah tidak mendoakan keridhaan bagi Mu’awiyah. Itu sebuah bukti bahwa kami dan ahlussunnah selaras, terutama dengan kaum Syafi’iyah. Di lain pihak, tidak mungkin terdapat persesuaian antara kami dengan kalian, karena kalian bukanlah Ahlussunnah waljama’ah.
Bantahan: Sekarang, ikutilah wahai sekalian para pembaca yang budiman, dan perhatikanlah kedustaan orang syi’ah ini. Pada dasarnya, kedustaan orang Syi’ah itu adalah satu perkara yang biasa, bahkan tidak akan mungkin menjadi orang Syi’ah sejati jika tidak menjadi seorang pendusta. Penanya Syi’ah (atau pemilik syubhat) ini berkata bahwa imam Syafi’i Rahimahullah dan ulama-ulama Syafi’iyah tidak mendo’akan keridhaan terhadap Mu’awiyah, maka ini adalah sebuah kejahatan terhadap hak Imam Syafi’i Rahimahullah, karena beliau berdo’a keridhaan untuk Mu’awiyah sebagaimana dalam kitabnya, al-Umm (II/190) dan (VI/170) dengan mengatakan: ‘Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu.’ Dia berdo’a keridhaan terhadap Mu’awiyah dalam kitab lain yang dikenal denganMusnad as-Syafi’i (I/33).
Bahkan, Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu adalah seorang faqih menurut Imam Syafi’i yang beliau banyak berhujjah dengan perbuatan, perkataan, dan periwayatannya. (al-Umm (II/68), lihat juga al-Muhadzdzab (I/70, 216 dan II/70)
Imam As-syafi’i Rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu perkataannya dari Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu:
« يَا بُنَيَّ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَّا أَعْلَمَ مِنْ مُعَاوِيَةَ»
“Wahai putraku, tidak ada seorangpun dari kami yang lebih ‘alim dari Mu’awiyah.” (al-Umm (I/290))
As-Syafi’i Rahimahullah juga berhujjah dengan perkataan dan pendapat Mu’awiyah, sebagaimana dia berkata,
بِحَدِيْثِ مُعَاوِيَةَ نَقُوْلُ
‘Dengan hadits Mu’awiyah kami berpendapat,’ yakni dalam masalah tardid (pengulangan) ucapan muadzdzin. (al-Umm (I/88))
Tatkala dikatakan kepada as-Syafi’i, ‘Kami tidak suka seorang pun witir kurang dari tiga (rakaat).’ Maka as-syafi’i Rahimahullah membantah mereka setelah meriwayatkan hadits tersebut dari Mu’awiyah, seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku tidak mengetahui satu sisi pun terhadap apa yang kamu katakan.’ (al-Umm (I/140))
Kami juga menyebut ucapan keridhaan ulama Syaifi’iyah terkemuka, yaitu Imam an-Nawawi Rahimahullah yang telah mengucapkan keridhaan serta memuji Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu sebagaimana disebutkan dalamRaudhatut Thalibin (XI/98), al-Majmu’ (III/86), al-Adzkar (I/7), dan Tahdzibul Asma` (I/190).
Agar tidak ada pendusta lain dari kalangan Syi’ah yang menampakkan diri kepada kita setelah dalil-dalil ini yang mengatakan bahwa as-Syafi’i Rahimahullah belum mengetahui tentang Mu’awiyah apa yang diketahui oleh manusia setelahnya, maka saya katakan, ‘Sungguh as-Syafi’i Rahimahullah telah mengisahkan detilnya kisah yang terjadi pada peperangan Shiffin antara Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu dan ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu. Dan dia tidak mencela Mu’awiyah, meskipun demikian.
Dengan jawaban ini, kami telah mendatangkan kepada Anda sekalian dengan kejelasan ucapan as-Syafi’i Rahimahullah dalam mengucapkan keridhaan terhadap Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu. Maka menjadi mustahil adanya persesuaian antara Anda dengan kami ahlussunnah, sama saja apakah kami ini bermadzhab Syafi’i, Hanbali, Maliki ataupun Hanafi. Yang benar, kesamaan-kesamaan itu ada antara Syi’ah dengan Yahudi dan Nasrani sebagaimana yang telah kami tetapkan sebelumnya. Berhati-hatilah Anda dari mempermainkan ucapan, lalu mengelompok-ngelompokkan ahlus sunnah dengan tujuan untuk memecah belah barisan kami ahlussunnah.
Terakhir, saya arahkan surat saya ini kepada orang yang telah mengaburkan perkara dengan membawa-bawa nama madzhab as-Syafi’i, lalu menaburkan keyakinan Rafidhah dari sela-selanya, ‘Kami nasihatkan kepada Anda untuk kembali dari penipuan ini, dan jangan lagi berbicara dengan mengatasnamakan imam atau madzhab as-Syafi’i Rahimahullah, sebagaimana kami nasihatkan kepada manusia agar berhati-hati, dan memahami tipu daya orang-orang seperti ini.*
Syubhat: Imam as-Syafi’i Rahimahullah telah bersaksi atas dirinya sendiri bahwa dia adalah seorang rafidhi, saat dia merangkai bait-bait sya’ir yang di dalamnya dia berkata:
إِنْ كَانَ رَفْضاً حُبُّ آلِ مُحَمَّدٍ … فَلْيَشْهَدِ الثَّقَلاَنِ أَنِّيْ رَافِضِيٌّ
“Jika Rafidhah itu adalah mencintai keluarga Muhammad,
Maka hendaknya dua makhluk (jin dan manusia) bersaksi bahwa aku adalah seorang Rafidhi.”
Ini adalah sebuah dalil terbesar atas kecintaan as-Syafi’i terhadap Syi’ah, dan penisbatannya kepada mereka.
Bantahan: Pertama, di awal ini kita harus mencatat bahwa kalian mengakui penyebutan Rafidhah. Maka, mohon jangan membantah penamaan ini setelahnya, karena kalian telah berdalih dengan penisbatan as-Syafi’i kepada rafidhi bukan kepada Syi’iy.
Kedua; sekali-kali tidak mungkin Imam as-Syafi’i Rahimahullah menjadi orang yang memiliki keyakinan rusak menyimpang seperti keyakinan kalian. Maka klaim bahwa dia menisbatkan dirinya kepada kalian adalah sebuah kebohongan atasnya. Adapun bait Syi’ir yang kesohor itu maka benar milik imam Syafi’i, akan tetapi permasalahannya adalah kalian tidak memiliki pemahaman terhadap bahasa Arab. Barangkali kami memaklumi Anda karena keberadaan Anda sekalian yang mengambil ilmu dari orang Persia.
Sekarang perhatikanlah bersama saya:
Imam as-Syafi’i Rahimahullah dengan ucapannya: [إِنْ كَانَ رَفْضاً حُبُّ آلِ مُحَمَّدٍ] Jika Rafidhah itu adalah mencintai keluarga Muhammad, bermaksud mengungkapkan kemustahilan al-Rafdh[1] dimaknai kecintaan kepada keluarga Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka as-Syafi’i Rahimahullah adalah orang ‘Arab tulen, dia mengambil bahasanya dari al-Qur`anul Karim. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
قُلْ إِنْ كَانَ لِلرَّحْمَنِ وَلَدٌ فَأَنَا أَوَّلُ الْعَابِدِينَ (٨١)
“Katakanlah, jika benar Tuhan yang Maha Pemurah mempunyai anak, Maka Akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu).” (QS. az-Zukhruf: 81)
Apakah Anda memahami bahwa ar-Rahman memiliki anak?! Tidak, sekali lagi tidak. Oleh karena ar-Rahman tidak memiliki anak itu maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan susunan bahasa ini untuk menolak ucapan orang-orang musyrik dan klaim mereka. Maha tinggi Allah setinggi tingginya dari apa yang mereka ucapkan.
Jadi, Imam as-syafi’i Rahimahullah menggunakan susunan bahasa al-Qur`an, yang membawa balaghah besar yang layak dengan kedudukan dan keluasan ilmu Imam as-Syafi’i Rahimahullah. Dia telah mengatakan bait yang lain, dimana di dalamnya dia menjawab orang yang tidak memahami bait ini, dia berkata di dalamnya:
قَالَوُا تَرَفَّضْتَ؟ قُلْتُ : كَلاَّ … مَا الرَّفَضُ دِيْنِيْ وَلاَ اعْتِقَادِيْ
“Mereka mengatakan, ‘Kalau begitu Anda telah menjadi Rafidhi?’ Saya katakan, ‘Sekali-kali tidak… tidaklah al-Rafdh (menolak Khalifah Abu Bakar dan Umar) itu agamaku, tidak juga keyakinanku.”
Di sini, Imam Syafi’i Rahimahullah berlepas diri dari Rafidhah (Syi’ah), dan menampakkan keheranannya dari pertanyaan ini. Kemudian dia menyatakan dengan terang-terangan bahwa dia tidak berada diatas agama Syi’ah (Rafidhah), tidak juga di atas keyakinan mereka.
Metode Imam Syafi’i Rahimahullah ini telah dikenal oleh para ahlul ilmi. Sebagai contoh, saat orang-orang liberal mengingkari kita karena berpegang teguh dengan agama ini, dengan menyatakan bahwa keteguhan itu adalah fanatisme, dan fanatisme itu merupakan satu keterbelakangan dan kemunduran, maka kita menjawab mereka dengan mengatakan, ‘Jika berpegang teguh dengan Islam itu adalah satu keterbelakangan dan kemunduran, maka saksikanlah bahwa kami orang-orang yang mundur dan terbelakang.’
Sekarang, wahai para pembaca Qiblati, wahai orang-orang yang obyektif, kita tinggalkan bait-bait syi’ir dan dasar-dasar bahasa Arab tersebut, lalu kita berbicara tentang dalil nyata yang bisa disentuh atas penentangan Imam as-Syafi’i terhadap Syi’ah, serta tidak adanya persetujuannya dengan mereka. Kami hadirkan beberapa dalil berikut ini:
Imam as-Syafi’i Rahimahullah berkata,
لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّوْرِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“Aku tidak melihat seorang pun yang lebih berani bersaksi dusta daripada Rafidhah.’ (Sunan al-Kubra, al-Baihaqiy (10/208), Siyaru A’lamun Nubala` (X/89))
Imam Syafi’i Rahimahullah ditanya, ‘Apakah aku shalat di belakang seorang Rafidhi? Maka dia menjawab, ‘Jangan kamu shalat di belakang seorang Rafidhi.’ (Siyaru A’lamun Nubala` (X/31))
Imam as-Subki Rahimahullah berkata, ‘Aku melihat di dalam al-Muhith dari kitab-kitab Hanafiah, dari Muhammad (bin Idris as-Syafi’i) bahwa tidak boleh shalat di belakang Rafidhah.’ (Fatawa as-Subki (II/576), lihat juga Ushulud Din (342))
Maka bagaimana Imam Syafi’i Rahimahullah, setelah dalil-dalil ini, menjadi seorang Rafidhiy seperti kalian sementara beliau menuduh kalian dengan persaksian palsu dan mengharamkan shalat di belakang kalian?
Saya kira, dengan jawaban ini kami menutup satu halaman penting dari halaman-halaman kedustaan Syi’ah atas Imam as-Syafi’i Rahimahullah yang memperjelas kedutaan Syi’ah atas beliau, dan kelancangan mereka terhadap beliau demi menyebarkan agama batil mereka.*
Syubhat: Kami kaum Syi’ah adalah para Anshar Alu Muhammad (penolong keluarga Muhammad), bukan Rafidhah sebagaimana yang kalian sebutkan atas kami secara dusta. Mengapa kalian mengulang-ulang penamaan (Rafidhah) yang tidak memiliki sumber ini?! Yang benar adalah bahwa penamaan kami Syi’ah adalahSyi’atu Alil Bait (pendukung ahlul bait). Riwayat-riwayat ahlul bait telah mendustakan adanya penamaan Rafidhah, atau mendustaan pengkhususan istilah itu untuk kami!
Bantahan: Perhatikanlah wahai kaum muslimin, bagaimana mereka (orang-orang syiah) dalam pertanyaan yang lalu berhujjah bahwa as-Syafi’i adalah orang Syi’ah karena dalam bait Syi’irnya dia menyebutkan kalimat Rafidhi. Setelah mereka memasukkan as-Syafi’i Rahimahullah kepada Syi’ah dengan dusta dari kalimat Rafidhi yang beliau ucapkan, mereka sekarang datang menafikan istilah rafidhah tersebut dari mereka, dan bahwa mereka bukanlah Rafidhah. Demikianlah mereka orang-orang Syi’ah (Rafidhah) tidak mungkin hidup tanpa berbuat dusta atau menipu.
Sebelum saya membantah Anda atas syubhat dan pertanyaan Anda, saya akan menjelaskan kepada para pembaca perbedaan antara Syi’ah dan Rafidhah.
Saya katakan, Syi’ah itu lebih dulu dan lebih umum dari Rafidhah, sehingga masuk lah ke dalam istilah Syi’ah ini: Rafidhah, Zaidiyah, Isma’iliyyah, dan seluruh sekte Syi’ah. Adapun Rafidhah, maka mereka adalah Syi’ah Imamiah, atau Itsna’asyariyah, atau Ja’fariyah. Dan ketiga penamaan ini untuk perkara satu, yaitu agama yang sekarang disebarkan oleh orang syi’ah di Indonesia dan di beberapa negara lainnya. Bukanlah satu hal yang aneh agama itu menyebar, karena Nasraniah menyebar, dan Ahmadiah pun menyebar, juga sekte-sekte sesat yang lain menyebar. Maka setiap bibit setan akan menemukan pangsa pasarnya sebagaimana khomer memiliki orang yang menginginkannya, demikian juga perjudian, riba dan seterusnya.
Pada masa sekarang, jika disebutkan secara mutlak penamaan Rafidhah, maka yang dimaksud adalah Syi’ah Itsna ‘Asyariah, atau Imamiah, atau Ja’fariyah secara sepakat. Maka jadilah setiap orang Rafidhi adalah orang Syi’ah, dan tidak setiap orang Syi’ah adalah harus menjadi Rafidhiy. Maka Zaidiyah misalnya, dia itu syi’ah tapi bukan Rafidhah karena keberadaan mereka yang tidak mencaci maki para sahabat, akan tetapi mereka hanyalah lebih mengutakaman ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu atas Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhum. Dan sekte Zaidiyah ini mengkafirkan Itsna ’asyariyah, demikian pula Itsna ’asyariyah mengkafirkan Zaidiyah. Demikianlah kondisi setiap sekte syi’ah, mereka saling mengkafirkan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Perlu diketahui bahwa sekte Zaidiyah bersama Ahlussunnah menggunakan istilah Rafidhah untuk menyebut Syi’ah Imamiyah (12 imam).
Adapun Syi’ah, maka mereka adalah sekumpulan manusia yang dulunya bersama dengan Ali Radhiallahu ‘Anhu. Dan perselisihan mereka bersama dengan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu adalah masalah politik murni. Tidak ada pada seorang pun dari mereka penyimpangan aqidah dan fiqih. Tidak ada juga di tengah mereka orang yang menyentuh kehormatan Abu Bakar dan Umar atau kedudukan keduanya yang lebih utama dari seluruh manusia.
Sebagian jama’ah Ali Radhiallahu ‘Anhu berpandangan bahwa perselisihan jama’ah Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu bersama mereka adalah perselisihan politik. Yang dimaksud dari mereka adalah perselisihan atas hukum, sementara Mu’awiyah berdasarkan pendapat mereka, maka dia menjadi pembangkang. Akan tetapi mereka mengakui bahwa saat urusan itu kembali kepadanya, dan persengketaan telah hilang, jadilah dia sebagai seorang khalifah yang adil, pemilik pasukan dan futuhat (penaklukan-penaklukan) yang itu berada dalam lembaran-lembaran kebaikannya.
Maka tasyayyu’ dengan makna ini teleh dikenal dalam kitab-kitab ahlussunnah, dan tidak dianggap sebagai satu ketercelaan.
Perlu diketahui bahwa pensifatan Syi’ah adalah penyifatan ahlussunnah wal jama’ah bagi kelompok Ali Radhiallahu ‘Anhu. Demikian pula dulu mereka mengatakan kelompok Mu’awiyah sebagai Syi’ah Mu’awiyah. Adapun pensifatan yang benar bagi Syi’ah Itsna ’Asyariah, yang ditinggalkan oleh manusia hari ini adalahRafidhah.
Rafidhah yang dikenal pada hari ini dengan Syi’ah, telah menambahkan kepada bid’ah-bid’ah mereka dengan bid’ah-bid’ah kufur, seperti ucapan kema’shuman para imam, dan pengutamaan mereka atas para Nabi dan Rasul; penuduhan zina terhadap Ummul Mukminin ‘Aisyah s, pengkafiran dan pemfasikan para sahabat secara umum, pendapat raj’ah dan bada`. Keyakinan perubahan al-Qur`an, dan keyakinan-keyakinan kufur lain. Maka, telah terjadi Ijma’ akan kekafiran orang yang mengatakan dengan keyakinan-keyakinan mereka ini, bahkan sebagian ulama telah mengkafirkan orang yang tidak mau mengkafirkkan mereka ini.
Orang yang mendirikan sekte syi’ah Imamiyah adalah seorang Yahudi bernama ‘Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan nama ibnu Sauda`, karena ibunya adalah seorang budak wanita hitam, dan diapun adalah seorang yang berwana hitam. Dia adalah seorang Yahudi dari penduduk Shan’a` Yaman. Dia adalah orang yang ahli dalam menjelma (menyamar) menjadi orang-orang yang berbeda, serta membuat komplotan secara rahasia.
Dirinya dikelilingi oleh misteri dan rahasia hingga orang-orang yang sezamannya. Hampir-hampir nama dan negerinya tidak dikenal, karena dia tidaklah masuk ke dalam agama Islam kecuali untuk membuat tipu daya, membuat konspirasi, serta fitnah di antara barisan kaum muslimin. Para ahli sejarah telah sepakat bahwa dia adalah orang yang pertama kali menyerukan fanatik dan ghuluw dengan syi’ah, serta melaknat Abu Bakar dan Umar, serta ucapan raj’ah, bahkan ketuhanan Ali bin Abi Thalib.
Para tokoh besar Syi’ah, dan ahli sejarah mereka telah mengakui hal ini. Inilah dia al-Kasysyi, pemilik kitab terpenting dalam mengetahui para perawi menurut agama Syi’ah; dia berkata, dalam kitabnya ar-Rijal, ‘Sebagian ahlul ilmu telah menyebutkan bahwa ‘Abdullah bin Saba`, dulunya adalah orang Yahudi, kemudian dia masuk Islam, lalu loyal terhadap Ali [ع]. Dulu dia berkata, sementara dia masih Yahudi tentang Yusya` bin Nun bahwa Musa telah memberikan wasiat untuk ghuluw. Maka dia berkata dalam keIslamannya setelah wafat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang ‘Ali seperti itu juga. Dialah orang yang pertama kali menetapkan ucapan kewajiban imamah ‘Ali; menampakkan bara` dari musuh-musuhnya, para penentangnya serta dia mengkafirkan mereka. Dari sinilah orang-orang yang menyelisihi Syi’ah berkata bahwa Tasyayyu’ dan Rafdhdiambil dari agama Yahudi.’ (Rijalul Kasysyi, hal. 101, cet. Muassasah al-A’lamiy, Karbala`, Iraq)
Al-Mamaqoni, Imam al-Jarh wat-Ta’dil menurut syi’ah menukil seperti ucapan al-Kasysyi. (Tanqihul Maqal, al-Mamaqoni (II/184), cet. Teheran)
Al-Qummi dalam kitabnya (al-Maqalat wal Firaq, hal. 10-21) mengakui keberadaan ‘Abdullah bin Saba`, dan dia menggolongkannya termasuk orang pertama yang menyatakan kewajiban keimamahan Ali, dan raj’ahnya. Serta menampakkan celaan atas Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, dan seluruh sahabat Radhiallahu ‘Anhu.
An-Nubakhtiy, salah satu ulama besar Syi’ah berkata dalam kitabnya Firaqus Syi’ah, ‘Abdullah bin Saba’, dulunya termasuk orang yang menampakkan celaan atas Abu Bakar, Umar, Utsman, dan para sahabat, dan dia berlepas diri dari mereka, seraya berkata, ‘Sesungguhnya ‘Ali [ع] telah memerintahkannya dengan yang demikian. Maka ‘Ali pun menangkapnya, kemudian menanyainya tentang ucapannya ini, maka dia mengakuinya, lalu ‘Ali memerintahkan untuk membunuhnya. Kemudian manusia pun berteriak kepadanya, ‘Wahai amirul mukminin, apakah Anda akan membunuh seorang laki-laki yang menyeru untuk mencintai Anda, ahlul bait, serta kepada kewaliyan Anda, dan berlepas diri dari musuh-musuh Anda?
Maka [Ali] mengasingkannya ke Madain [ibu kota Persia kala itu]. Sekelompok ahli ilmu dari sahabat ‘Ali [ع] mengisahkan bahwa sesungguhnya ‘Abdullah bin Saba` dulunya adalah seorang Yahudi kemudian masuk Islam, lalu loyal kepada ‘Ali [ع].
Dari sanalah orang-orang yang menyelisihi Syi’ah berkata bahwa asal dari Rafidhah diambil dari agama Yahudi. Dan tatkala sampai kepada ‘Abdullah bin Saba` berita kematian ‘Ali di Madain, dia berkata kepada orang yang menyampaikan berita kematiannya, ‘Engkau dusta, seandainya engkau mendatangkan kepada kami otaknya dalam tujuh puluh bokor, lalu kau kuatkan atas terbunuhnya Ali dengan persaksian tujuh puluh orang adil, maka pastilah kami tahu bahwa dia tidak mati, dan tidak terbunuh, dan dia tidak akan mati hingga menguasai dunia.’ (hal. 43, 44, cet. Matba’ah al-Haidariyah, Najaf, tahun 1379 H/1959 M)
Pemilik kitab Raudhatus Shafa (II/292, cet. Iran) menyebutkan dalam bahasa Persia, ‘Sesungguhnya ‘Abdullah bin Saba` menuju Mesir saat dia mengetahui bahwa penentangnya [Utsman bin ‘Affan] banyak terdapat di sana. Maka dia menampakkan dirinya dengan ilmu dan ketakwaan hingga manusia terfitnah (terperdaya, terkecoh) olehnya. Setelah kekokohannya di tengah-tengah mereka, maka mulailah dia menyebarkan doktrin dan prilakunya. Diantaranya adalah, bahwa setiap nabi memiliki wali dan pengganti, dan wali pengganti Rasulullah tidak lain kecuali ‘Ali yang berhias dengan ilmu, fatwa, kedermawanan, keberanian, dan disifati dengan amanah, dan ketakwaan. Dia berkata, ‘Sesungguhnya umat ini telah berbuat zhalim kepada ‘Ali, lalu merampas haknya, yaitu hak khilafah dan wilayah.
Dan sekarang semuanya haru saling menolong dan membantunya, melepaskan ketaatan terhadap Utsman dan pembaiatannya. Lalu banyak dari orang-orang Mesir yang terpengaruh dengan ucapan dan pendapatnya, lalu mereka pun keluar untuk membunuh khalifah Utsman.”
Ini adalah pengakuan-pengakuan para ulama Syi’ah terdahulu, yaitu bahwa pendiri syi’ah adalah orang Yahudi, Abdullah bin Saba`. Sekarang kita datang kepada penolakan mereka akan penamaan Rafidhah atas mereka agar menjadi jelas bagi Anda bahwa mereka tidak mempunyai agama yang jelas, dan bahwa mereka itu ‘seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi’. Saya akan menetapkan bahwa para imam mereka telah memberkahi penamaan Rafidhah bagi mereka, dan hal itu telah disebutkan di dalam kitab-kitab Induk Syi’ah.
Ikutilah bersama saya dengan tenang dan penuh perhatian agar kita bisa sampai bersama-sama kepada satu hakikat yang hilang dari banyak orang yang mengikuti para pengikut Majusi tersebut. Syaikh mereka, al-Majlisi -salah seorang rujukan dalam ilmu hadits- telah meriwayatkan di dalam kitabnya, al-Bihar, empat hadits dari hadits-hadits mereka tentang pujian penamaan Rafidhah. Al-Majlisiy menyebutkannya dalam bab yang dia beri nama, ‘Bab Fadhlur Rafidhah wa Madh al-Tasmiyah Biha (Bab Keutamaan Rafidhah, dan pujian penamaan dengannya).’
Perhatikanlah, dia mengungkapkan bahwa sekedar memberi nama Rafidhah saja itu adalah sebuah pujian. Di antara contoh yang telah dia sebutkan dalam bab ini adalah:
عَنْ أَبِيْ بَصِيْرٍ قَالَ: قُلْتُ لِأَبِيْ جَعْفَرَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ -: جُعِلْتُ فِدَاكَ، اسْمٌ سُمِّيْنَا بِهِ اسْتَحَلَّتْ بِهِ الْوُلاَةُ دِمَاءَنَا وَأَمْوَالَنَا وَعَذَابَنَا، قاَلَ: وَمَا هُوَ؟ قُلْتُ: الرَّافِضَةُ، فَقَالَ جَعْفَرُ: إِنَّ سَبْعِيْنَ رَجُلاً مِنْ عَسْكَرِ مُوْسَى – عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ – فَلَمْ يَكُنْ فِيْ قَوْمِ مُوْسَى أَشَدَّ اِجْتِهَاداً وَأَشَدَّ حُبّاً لِهَارُوْنَ مِنْهُمْ، فَسَمَّاهُمْ قَوْمُ مُوْسَى الرَّافِضَةَ، فَأَوْحَى اللهُ إِلىَ مُوْسَى أَنْ أَثْبَتَ لَهُمْ هَذَا الْاِسْمَ فِيْ التَّوْرَاةِ فَإِنِّيْ نَحَلْتُهُمْ، وَذَلِكَ اِسْمٌ قَدْ نَحَلَكُمُوْهُ اللهُ
Dari Abu Bashir, dia berkata, ‘Kukatakan kepada Abu Ja’far ‘alaihissalam, Semoga aku dijadikan sebagai penebus Anda, satu nama yang kami diberi nama dengannya, dan dengannya para penguasa telah menghalalkan darah-darah kami, harta-harta kami, dan penyiksaan kami. Dia berkata, ‘Apa itu?’ Aku menjawab, ‘Rafidhah.’ Maka berkatalah Ja’far, ‘Sesungguhnya tujuh puluh orang laki-laki dari pasukan Musa ‘alaihissalam, tidak ada dalam kaum Musa yang paling keras ijtihadnya, dan paling besar kecintaannya kepada Harun dari mereka, lalu kaum Musa menyebut mereka dengan nama Rafidhah. Maka Allah mewahyukan kepada Musa untuk menetapkan penamaan ini untuk mereka di dalam Taurat. Maka sesungguhnya aku mengakui mereka, dan itu adalah nama yang Allah telah mengakuinya untuk kalian.’
Al-Majlisiy meriwayatkan dari Ibnu Yazid, dari Shafwan, dari Zaid as-Syiham, dari Abul Jarud, dia berkata:
أَصَمَّ اللهُ أُذُنَيْهِ كَمَا أَعْمَى عَيْنَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ سَمِعَ أَبَا جَعْفَرَ (ع) وَرَجُلٌ يَقُوْلُ : إِنَّ فُلاَنًا سَمَّانَا بِاسْمٍ، قَالَ : وَمَا ذَاكَ الْاِسْمُ؟ قَالَ: سَمَّانَا الرَّافِضَةَ، فَقَالَ أَبُوْ جَعْفَرَ (ع) بِيَدِهِ إِلىَ صَدْرِهِ: وَأَنَا مِنَ الرَّافِضَةِ وَهُوَ مِنِّيْ قَالَهَا ثَلاَثًا
“Mudah-mudahan Allah menjadikan tuli kedua telinganya, sebagaimana dia menjadikan buta kedua matanya jika dia tidak mendengar Abu Ja’far [ع] dan seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya Fulan telah memberi nama kami dengan satu nama.’ Dia berkata, ‘Apakah nama itu?’ dia menjawab, ‘Dia memberi kami nama Rafidhah.’ Maka Abu Ja’far [ع] berkata dengan mengisyaratkan tangannya ke dadanya, ‘Dan aku adalah bagian dari Rafidhah, dan dia adalah bagian dariku.’ Dia mengucapkannya tiga kali. (Biharul Anwar (CXV/97))
Perhatikanlah sekarang, kami menukil dari kitab-kitab syi’ah yang mereka banggakan penamaan mereka dengan nama Rafidhah. Sementara Syi’ah pada hari ini menolak penamaan ini. Maka Syi’ah terdahulu tidak mengingkari penamaan ini secara mutlak. Al-Kulainiy (Ulama terbesar Syi’ah) telah meriwayatkan dalam kitabnya, al-Kafi bahwa Allahlah yang telah memberi nama mereka Rafidhah (VIII/28).
Di tempat lain dia berkata, ‘Telah diriwayatkan bahwa sebagian Syi’ah telah berkata kepada Imam as-Shadiq ‘Alaihissalam:
إِنَّا قَدْ نُبِزْنَا نَبْزاً أَثْقَلَ ظُهُوْرَنَا، وَمَاتَتْ لَهُ أَفْئِدَتُنَا، وَاسْتَحَلَّتْ لَهُ الْوُلاَةُ دِمَاءَنَا فِيْ حَدِيْثٍ رَوَاهُ لَهُمْ فُقَهَاؤُهُمْ، فَقَالَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: الرَّافِضَةُ؟ قَالُوا: نَعَمْ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ مَا هُمْ سَمَّوْكُمْ.. وَلَكِنَّ اللهُ سَمَّاكُمْ بِهِ
“Sesungguhnya kami telah diberi satu julukan buruk yang telah memberatkan punggung-punggung kami, dan karenanya para penguasa menghalalkan darah-darah kami, dalam sebuah hadits yang para ulama ahli fiqih mereka meriwayatkannya untuk mereka. Maka berkatalah Abu ‘Abdillah ‘alaihissalam, ‘Rafidhah?’ Maka mereka menjawab, ‘Ya.’ Diapun berkata, ‘Tidak, demi Allah, tidaklah mereka yang menamai kalian, akan tetapi Allahlah yang telah menamai kalian dengannya.’ (al-Kafiy, V/34)
Adapun mengapa penamaan Rafidhah itu dimutlakkan atas Syi’ah Imamiah, maka berkatalah Ulama Syi’ah az-Zaidiy al-Imam Ahmad al-Murtadha (Syarhul Azhar (I/211)), maka dia berkata,
وَالرَّوَافِضُ قَوْمٌ مُعَيِّنِيْنَ مِمَّنْ يَنْتَحِلُ التَّشَيُّعَ وَهُمْ أَبُو الْخَطَّابِ وَأَصْحَابُهُ الَّذِيْنَ رَفَضُوا زَيْدَ بْنَ عَلِيٍّ لَمَّا قَالُوا لَهُ : مَا تَقُوْلُ فِي الرَّجُلَيْنِ الظَّالِمَيْنِ؟، قَالَ : مَنْ هُمَا؟ قَالُوا : أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، قَالَ : لاَ أَقُوْلُ فِيْهِمَا إِلاَّ خَيْراً ، فَقَالُوا :رَفَضْنَا صَاحِبَنَا فَسُمُّوا رَافِضَةً
“Dan Rawafidh adalah kaum tertentu dari orang-orang yang menganut tasyayyu’ (shi’isme), dan mereka adalah Abu al-Khaththab, dan para sahabatnya yang menolak Zaid bin ‘Ali saat mereka bertanya kepadanya, ‘Apa yang Anda katakan tentang dua orang zhalim?’ Dia menjawab, ‘Siapakah keduanya?’ Mereka berkata, ‘Abu Bakar dan Umar.’ Dia pun berkata, ‘Aku tidak mengatakan tentang keduanya kecuali kebaikan.’ Maka mereka berkata, ‘Kami menolak sahabat kami.’ Maka mereka pun diberi nama Rafidhah (kelompok yang menolak Zaid ibn Ali, atau yang menolak Khalifah Abu Bakar dan Umar).
Sekarang kami telah menetapakan dengan kekuatan dalil dari sumber rujukan mereka, bahwa Syi’ah pada hari ini adalah Rafidhah. Dan saya sama sekali tidak berdalil dengan sumber rujukan ahlussunnah atas hal itu. Sungguh aib, setelahnya Rafidhah mengaku bahwa mereka adalah pengikut ahlul bait Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kami memohonkan hidayah kepada Allah untuk mereka agar mereka memahami Islam. Dan saya mohon maaf akan terlalu panjangnya jawaban karena memang pentingnya masalah ini. (AR)*
[1] Al-Rafdh maknanya adalah menolak. Maksudnya adalah menolak Khalifah Abu Bakar dan Umar. Jadi al-Rafdh itu bukan cinta ahlul bait.
Sumber : http://qiblati.com
0 komentar:
Posting Komentar