♠ Posted by Unknown in Nasihat at 18.10
Seorang siswa setir mobil begitu menyimak arahan-arahan dari instrukturnya. Sesekali, ia mengangguk-angguk seperti memahami sesuatu. “Prinsipnya, kita harus hati-hati dan konsentrasi dalam berkendaraan,” ucap sang instruktur sambil menyudahi bicaranya.
Sesaat setelah itu, mereka pun praktek lapangan. Mobil latihan sudah disiapkan. Satu per satu, siswa akan diberikan kesempatan untuk mengendarai mobil di jalan umum. “Ingat, kita harus hati-hati dan konsentrasi,” ujar instruktur sambil mengawasi salah seorang siswanya yang mulai melajukan mobil yang mereka tumpangi.
Siswa ini tampak tenang ketika memasuki areal yang sepi. Tapi, ia mulai gelisah saat mobil memasuki jalan umum. Mobil-mobil lain seperti tak peduli kalau mereka sedang belajar. Berbagai kendaraan saling mendahului kian menciutkan hati si siswa. Tapi, ucapan sang instruktur terus saja menyadarkan, “Hati-hati dan konsentrasi!”
Ada suatu kebiasaan siswa yang sangat mengganggu konsentrasinya sendiri. Siswa begitu sering menatap kaca spion. Kadang spion kiri, kadang tengah dan kadang yang kanan. Setiap kali siswa manatap kaca spion, kali itu juga konsentrasinya buyar. Ia seperti dihantui bayang-bayang seram.
“Murid-muridku,” ucap sang instruktur sambil mengawasi seorang siswa yang memarkir mobil si tempat yang aman. “Kalian dapat pelajaran berharga dari teman kita,” tambahnya seraya menatap satu per satu siswa yang ada di dalam mobil.
Para siswa mulai menyimak, “Jangan pernah kaca spion selama kalian tidak ingin berbelok atau berhenti. Karena kebiasaan itu akan mengganggu kenyamanan kalian dalam berkendaraan. Semakin sering kalian menatap kaca spion, sebanyak itu pula kalian dihantui rasa takut,” jelas sang instruktur begitu gamblang.
***
Menjadi pemimpin dalam keluarga, perusahaan, organisasi, tim, dan berbagai perkumpulan lain mirip seperti mengandarai mobil. Di tangan sopirlah proses melaju kendaraan, dan di tangannya pula keputusan diambil.’
Para sopir pemula biasanya punya kebiasaan menoleh ke arah kaca spion. Ia pun dipermainkan dengan pemandangan di situ. Terlihatlah dari kaca itu berbagai kendaraan di belakang seolah berkejaran untuk menabraknya. Kalau kebiasaan ini tidak segera diakhiri, sang sopir akan terus menerus dibayangi rasa takut. Padahal tangannya ada di depan, bukan di belakang.
Karena itu, seorang bukan saja mesti mampu menyetir dan menguasai jalan yang akan di tempuh, ia pun harus mampu menguasai diri, ia tidak mudah dipermainkan oleh rasa takut di belakang. Pandangannya terus ke depan. Dan, baru menoleh ke belakang manakala kendaraan akan berhenti, berbelok, atau berputar.
Muhammad Nuh
Source: Majalah SAKSI No. 16 Tahun VIII 27 April 2006.
0 komentar:
Posting Komentar